Tari Gandrung Banyuwangi



Seiring dengan perkembangan jaman, banyak tradisi dan budaya di berbagai daerah mulai ditinggalkan oleh kalangan muda, termasuk seni tari. Begitu juga budaya dan tradisi banyuwangi termasuk tari-tarian serta tradisi yang lain. Belakangan pemkab banyuwangi menggali Budaya dan Tradisi lama untuk dihidupkan kembali seiring dengan menggeliatnya perkembangan pariwisata di Banyuwangi. Salah satu budaya yang masih populer dan sudah menjadi icon Banyuwangi adalah Tari Gandrung, orang menyebutnya Tari Gandrung Banyuwangi. Tari Gandrung ini sering ditampilkan dalam acara-acara seremonial. Tari Gandrung sering juga di tanggap oleh masyarakat jika ada acara hajatan sunatan ataupun kawinan.

Asal muasal Tari Gandrung adalah pada sekitar tahun 1767, ketika pasukan kompeni yang dibackup prajurit Mataram dan Madura, menyerang dan meluluhlantahkan Belambangan yang dipimpin Mangwi. Perang ini disebut Perang Bayu yang sadis, keji dan brutal dan hanya menyisahkan sekitar lima ribu prajurit Belambangan dan beberapa penduduk. Para wanita ditawan, sebagai jarahan perang. Dengan berakhirnya Perang Bayu pada 11 Oktober 1772, para prajurit dan penduduknya pergi mengungsi dan tercerai-berai di hutan, gunung dan daerah-daerah lain. Selanjutnya, para prajurit yang cerai-berai itu, berusaha mengumpulkan seluruh kawan-kawan seperjuangannya, dan menahbiskan diri sebagai Gandrung Marsan atau penari laki-laki. Mereka menggelar pertunjukan dari kampung ke kampung. Usai pertunjukan, mereka mendapat imbalan berupa beras atau hasil bumi lainnya, yang kemudian dibagi-bagikan kepada pengungsi yang memerlukan bantuan, baik mereka yang mengungsi di pedesaan, di pedalaman, atau yang bertahan hidup di hutan-hutan dengan segala penderitaannya pasca-Perang Bayu.



Lahirnya seni tari yang dijadikan sebagai alat perjuangan menyelamatkan sisa-sisa rakyat yang telah dibantai habis-habisan dan membangun kembali Bumi Belambangan sebelah timur yang telah porak-poranda oleh Kompeni itu. Kemunculan Gandrung Marsan mulai populer atau mencapai masa keemasan pada masa pemerintahan bupati kelima Banyuwangi, yaitu Bupati Pringgokusumo di Tahun 1867.

Kemudian, pada perkembangannya, Tari Gandrung tidak hanya dimainkan kaum lelaki, tapi juga wanita. Gandrung wanita pertama adalah Semi, seorang anak kecil yang pada waktu itu, sekitar Tahun 1895, masih berusia sepuluh tahun. Menurut cerita yang dipercaya masyarakat sekitar, waktu itu Semi menderita penyakit yang cukup parah. Segala cara sudah dilakukan hingga ke dukun, namun Semi tak juga kunjung sembuh. Sehingga ibu Semi, yang bernama Mak Midhah bernazar: "Kadhung sira waras, sun dhadekaken Seblang, kadhung sing yo sing (Kalau kamu sembuh, aku jadikan Seblang, kalau tidak ya tidak jadi)." Akhirnya Semi sembuh dan dijadikan Seblang sekaligus memulai babak baru sejarah Gandrung, yang kali pertama dimainkan kaum hawa. Tarian Seblang ala Semi ini, kemudian diikuti oleh adik-adik perempuannya.

Kesenian ini kemudian terus berkembang di seantero Banyuwangi dan menjadi ikon khas setempat. Pada mulanya Gandrung hanya boleh ditarikan oleh para keturunan penari sebelumnya, namun sejak tahun 1970-an mulai banyak gadis-gadis muda yang bukan keturunan Gandrung mempelajari tarian ini dan menjadikannya sebagai sumber mata pencaharian di samping mempertahankan eksistensinya yang makin terdesak sejak akhir abad ke-20.

Tari Gandrung sendiri, terbagi tiga bagian, yaitu Jejer, Maju atau Ngibing dan Seblang Subuh atau permohonan ampun kepada Tuhan.

Monggo Dilihat vidionya:






Comments

Popular posts from this blog

Call Center Oto 24 jam bebas pulsa

Jasa gentun solo surakarta murah

Call Center Bank Nobu 24 jam Seluruh Indonesia